Bagaimana Masa Depan Bisnis Digital Agency?

Beberapa pas belakangan aku banyak berdiskusi bersama teman-teman pelaku usaha startup bidang digital agency. Mereka adalah orang-orang muda luar biasa yang percaya penuh pada misi yang mereka emban. Namun aku mendapatkan satu hal mutlak yang aku identifikasi dari mayoritas mereka. Nyaris seutuhnya amat fokus pada akuisisi klien. Saya mengkritisi ini dan menawarkan cara pandang lain.

Setiap pelaku digitaal marketing punyai satu tugas utama: mendistribusikan dampak (impact). Menjual, mengakuisisi, meretensi, menciptakan advokasi dan lain-lain sekedar lebih dari satu tugas. Ketika para programmer menciptakan produk yang dipercaya sanggup memberi tambahan dampak, tugas pemasar adalah mendistribusikan dampak itu ke pasar.

Pada postingan berjudul “Merancang Ulang Dunia Iklan Masa Depan“, aku mengemukakan tentang pergeseran information economy ke attention economy. Begitu cepatnya perubahan di dalam lansekap teknologi pemasaran dan periklanan dan juga perubahan tren pada konsumen, mengakibatkan definisi bakal digital agency tetap berubah.

Perhatian makin lama wajib direbut melalui penyampaian secara kontekstual melalui saluran yang terdistribusi makin lama luas. Saat ini saja, seumpama kesibukan digital marketingmesti disalurkan melalui seluruh channel mix, jumlahnya sanggup puluhan (mungkin ratusan).

Padahal tiap-tiap channel punyai karakter, konteks, dan konten berbeda. Sebagai contoh, kelak seumpama augemented reality (AR) telah populer, creative agency jakarta wajib mendapatkan cara penyampaian pesan yang sesuai konteks, mengukurnya secara relevan, dan mendapatkan cara mengoptimasinya. Begitu juga kelak seumpama IoT telah jadi lazim di tempat tinggal tangga.

Di jaman depan, periklanan tak lagi jadi manifestasi utama dari kesibukan kreatif, melainkan penguasaan information dan teknologi. Ketika insight dari customer sanggup didapatkan secara real-time dan lebih akurat, maka iklan bukan lagi sebuah produk akhir. Iklan hanya tidak benar satu anggota dari kesibukan kreatif yang bakal dioptimalisasi terus menerus berdasarkan insight, yang bersender pada keandalan information dan teknologi yang digunakan.

Dengan demikianlah digital agency jaman depan bukan hanya mereka yang menguasai information dan teknologi, tetapi juga sanggup bekerja bersisian bersama klien di sisi hulu. Sehingga, digital agency dan klien wajib sama-sama lebih terbuka soal sistem kreatif mereka.

Digital agency jaman depan juga wajib punyai kekuatan di dalam user experience, customer experience, front end, dan customer journey. Brand bakal lebih membutuhkan customer dibandingkan customer membutuhkan brand. Buyer power bakal tetap meningkat bersamaan bersama berlanjutnya kompleksitas teknologi. Hal ini mengakibatkan digital agency wajib sanggup mengantarkan benefit yang nyata secarareal-time kepada konsumen.

Ada pula yang memprediksi digital agency jaman depan lebih melakukan tindakan sebagai enabler, seperti Uber di dalam dunia transportasi. Platform distribusi yang jumlahnya makin lama menggila mengakibatkan isi pasar makin lama riuh dan kompleks, sekaligus perkembangan teknologinya makin lama variatif. Situasi ini bakal melahirkan keuntungan strategis bagi digital agency bersama cara selalu punyai pertalian segera bersama klien, mengandalkan strategi, pendekatan dan data, tetapi dieksekusi oleh pihak lain yakni platform distribusi.

Pada akhirnya, aku masih berpegang pada sebuah prinsip kewirausahaan di jaman ini yang tak jika wajib bagi digital agency atau digital marketing agency: kewajiban menciptakan dampak, selesaikan kasus penting, dan mengakibatkan orang lain hidup lebih baik.

Kita membangun perusahaan bukan untuk menghasilkan uang. Namun kita menghasilkan uang sehingga sanggup melayani lebih baik dan berikan dampak lebih besar lagi.

Kekuatan dampak yang sanggup dihasilkan adalah nilai (value) bagi sebuah bisnis. Dampak hanya sanggup lahir disaat ada kasus mutlak dan krusial yang tertangani (solve problem). Penyelesaian kasus ini amat tergantung dari pendekatan (approachment) yang kita gunakan. Sementara, daya saing kompetitif (competitive advantage) dan nilai preposisi (value proposition) usaha kita amat tergantung dari keunikan dan keandalan cara kita selesaikan masalah.

Bila cara pendekatan kita di dalam menciptakan dampak adalah kekuatan bagi nilai usaha kita, maka amat mutlak untuk menginstitusikannya dan meletakkannya di pintu depan (front door).

Contohnya, seumpama perusahaan startup kamu adalah digital marketing agency, bagaimana kamu sanggup beradu mengakuisisi klien besar disaat berhadapan bersama Ogilvy & Mather, misalnya?

Paling lazim adalah kita menjanjikan bujet lebih rendah bersama objektif return on investment (ROI) yang sama, materi kreatif yang lebih baik, atau channel mix yang lebih luas. Cara ini memiliki masalah dikarenakan hampir tiap-tiap pemain di kelas yang mirip bersama kita menjanjikan hal yang serupa.

Bila daya saing ditumpukan kepada harga, bakal selalu ada pihak yang sanggup sediakan harga lebih rendah. Sementara untuk janji bakal mutu yang sanggup kamu deliver adalah sebuah pertaruhan bagi klien, dikarenakan hanya sanggup dinilai disaat proyek tengah atau selesai berlangsung.

Bagi klien yang hendak mengendalikan risikonya untuk menggapai KPI (key performance indicator) internal, mereka bakal lebih memilih menghimpit risiko itu bersama cara membayar harga lebih tinggi kepada agensi yang high profile.

Di sisi lain, pada arena SEM dan content marketing nama Neil Patel lebih besar ketimbang Ogilvy. Di bidang inbound marketing, Hubspot jagoannya. Atau di media buying ada AppLift. Ini bukan hanya soal ceruk.

Mungkin ada juga yang beranggapan produk Hubspot adalah marketing tool dan Neil Patel tidak jalankan media buying, atau Applift tidak menggarap materi kreatif. Kenyataannya, seluruh yang disebut di atas sediakan custom pelayanan dan personal touch seperti seperti digital agency yang sediakan layanan/ solusi secara holistik untuk menggapai objective klien yang masing-masing unik.

Perbedaannya, mereka menawarkan pendekatan tidak serupa yang di tempatkan di pintu depan, di mana calon klien sanggup menguji pendekatan itu tanpa wajib terpapar risiko besar atau menjalin prinsip lebih dulu.

Neil Patel contohnya, ia sediakan tool pengujian SEO gratis di situsnya yang hasilnya bakal memberi tambahan rekomendasi optimasi berdasarkan pendekatan unik yang ia gunakan. Bila calon klien berpikiran pendekatan yang digunakan Neil layak untuk dicoba, maka barulah dimulai langkah konsultasi dan seterusnya. Beberapa nama besar yang jadi kliennya adalah Google, Facebook, eBay, AirBnB, sampai Microsoft.

Ini adalah bukti pentingnya penyedia fasilitas untuk memberi tambahan dan mendemonstrasikan nilainya di awal bersama cara sederhana. Saat ini disaat buyer power amat tinggi dikarenakan melimpahnya pilihan dan terbukanya informasi, janji tidak bakal dulu cukup.

Praktik macam ini sesungguhnya telah amat lama digunakan di dalam penjualan tradisional. Penjual buah kaki lima contohnya. Bila kita belanja rambutan, hampir seluruh penjaja mengizinkan kita mencoba khususnya dulu. Bila cara ini diterjemahkan ke di dalam marketing funnel atau corong pemasaran, maka siasat penjaja buah ini ada di langkah consideration (mempertimbangkan).

Kalau senang yang lebih canggih lagi contohnya adalah GO-JEK yang memberi tambahan refferal bonus deposit bagi pemakai awal sehingga sanggup menguji cobalah layanannya secara gratis. Harapannya, mereka bakal jalankan pembelian/ pembayaran (purchase/ decision) di jaman yang bakal datang.

Semua pelaku digital marketing hafal bersama funnel ini:

Awareness (mengetahui)
Consideration (mempertimbangkan)
Decision (memutuskan)
Retention (kembali)
Advocacy (menyarankan)

Namun disaat value yang kita punyai tidak diinstitusikan dan tak dikemas secara digital sehingga sanggup disampaikan di pintu depan, maka mungkin besar kita bakal susah membangun langkah awareness dan consideration. Dengan mengemasnya di dalam wujud digital, pendistribusiannya juga bakal jauh lebih mudah, luas, terukur, dan mudah dioptimalisasi.

Lebih dari itu, seumpama value selanjutnya didemonstrasikan secara luas, maka ia sanggup merintis langkah demi langkah validasi untuk dikembangkan lebih jauh—yang pada pada akhirnya bakal tingkatkan nilai usaha kita.

Bila demikian, apakah sesungguhnya entitas perusahaan digital marketing seperti media planner atau media buyer itu? Perusahaan teknologi atau perusahaan marketing/ advertising?

Saya berpendapat yang kedua, yakni perusahaan teknologi bidang marketing/ advertising. Kecepatan inovasi di dalam arena digital marketing tidak sanggup mengakibatkan kita hanya jadi pengikut (follower) terus menerus yang hanya mengandalkan reaksi.

Kita wajib ikut dan juga di dalam menciptakan kecepatan inovasi itu dan proaktif. Kematian Yahoo! mengajarkan kita soal ini: lebih memosisikan diri sebagai perusahaan media periklanan ketimbang perusahaan teknologi mengakibatkan mereka tak berdaya di hadapan Google. Terlebih lagi bagi perusahaan digital agency yang sediakan fasilitas lebih holistik, posisi sebagai perusahaan teknologi ini jadi wajib sejak awal.

Memosisikan diri sebagai perusahaan teknologi bagi perusahaan digital marketingjuga bakal mengakibatkan usaha mereka lebih terus menerus dikarenakan punyai kekuatan scale pada teknologi dan mengembangkan pendekatan mereka secara kontinyu.

Terlebih lagi, pas ini pun Google Adword tingkat lanjut dan DoubleClick Ad Exchange membutuhkan kekuatan programming. Dengan makin lama luasnya adopsi machine learning, AI, otomatisasi, dan big data, perusahaan digital marketing wajib tetap memperkuat teknologi mereka sehingga selalu relevan.

Social Lab, startup di bidang digital marketing agency yang aku bangun, mengalami susah scale dikarenakan amat terbatasnya sumber daya manusia di Balikpapan/ Kalimantan Timur untuk mengembangkan teknologi.Saya adalah inbound marketing believer. Saya percaya bahwa broadcast marketingatau push marketing makin lama tidak relevan. Digantikan oleh inbound marketing atau pull marketing. Marketer centric beralih jadi customer centric. Bukan lagi megaphone, tetapi magnet.

Dalam jaman surplus informasi, yang kita perebutkan adalah perhatian—sesuatu yang tak sanggup dibeli. Itu sebabnya kita membutuhkan cara menciptakan kesibukan marketingyang orang sukai. Caranya adalah mencipakan konten dan konteks yang tepat.

Salah satu cara terpeting mendemonstrasikan value kita di pintu depan adalah share value itu sendiri kepada orang lain. Ada empat langkah di dalam inbound marketing: attract, convert, close, delight.

Content marketing berada di langkah pertama, yakni attract atau menarik perhatian. Di langkah ini kita menghidupkan awareness pada kasus yang tengah dihadapi obyek konsumen, mengedukasi, brain storming, dan menawarkan ide bakal pendekatan yang kita pilih. Bujukan tak berada di langkah ini.

Di blog Hubspot kita sanggup tetap memperbaharui wawasan tentang digital marketinglewat artikel, video, belajar kasus, sampai infografis. Bahkan di Hubspot Academy kita sanggup secara gratis belajar dan mengambil lebih dari satu sertifikasi digital marketingsecara gratis.

Begitu banyak nilai yang didemonstrasikan dan diberikan oleh Hubspot kepada pelaku digital marketing secara cuma-cuma, adalah cara persuasi untuk membangun awareness bakal kasus dan pendekatan di dalam menyelesaikannya ala Hubspot.

Dari situlah tahapan sesudah itu berlanjut ke convert, close, sampai delight. Sampai pas ini Hubspot masih berada di jajaran top penyedia fasilitas solusi digital marketing di dunia bersama lebih dari 34.000 customer dan 3.400 partner agensi.

Sayangnya, sepengamatan saya, amat sedikit digital agency atau digital marketing agency di Indonesia yang jagoan atau tenar soal kemampuannya di bidangcontent marketing dan inbound marketing.

Menuangkan ide ke di dalam wujud konten yang menarik, relevan, dan punya nilai sesungguhnya bukan perkara mudah. Namun pastilah tiap-tiap agensi punyai sumberdayacontent creative di dalam line-up mereka sebagai tidak benar satu fasilitas yang diberikan kepada klien. Tapi sanggup dihitung bersama jari para agensi yang punyai blog dan media sosial yang dikembangkan secara baik dan populer.

Agensi digital Masa depan

Pada postingan berjudul “Merancang Ulang Dunia Iklan Masa Depan“, aku mengemukakan tentang pergeseran information economy ke attention economy. Begitu cepatnya perubahan di dalam lansekap teknologi pemasaran dan periklanan dan juga perubahan tren pada konsumen, mengakibatkan definisi bakal digital agency tetap berubah.

Perhatian makin lama wajib direbut melalui penyampaian secara kontekstual melalui saluran yang terdistribusi makin lama luas. Saat ini saja, seumpama kesibukan digital marketingmesti disalurkan melalui seluruh channel mix, jumlahnya sanggup puluhan (mungkin ratusan).

Padahal tiap-tiap channel punyai karakter, konteks, dan konten berbeda. Sebagai contoh, kelak seumpama augemented reality (AR) telah populer, digital agency wajib mendapatkan cara penyampaian pesan yang sesuai konteks, mengukurnya secara relevan, dan mendapatkan cara mengoptimasinya. Begitu juga kelak seumpama IoT telah jadi lazim di tempat tinggal tangga.

Di jaman depan, periklanan tak lagi jadi manifestasi utama dari kesibukan kreatif, melainkan penguasaan information dan teknologi. Ketika insight dari customer sanggup didapatkan secara real-time dan lebih akurat, maka iklan bukan lagi sebuah produk akhir. Iklan hanya tidak benar satu anggota dari kesibukan kreatif yang bakal dioptimalisasi terus menerus berdasarkan insight, yang bersender pada keandalan information dan teknologi yang digunakan.

Dengan demikianlah digital agency jaman depan bukan hanya mereka yang menguasai information dan teknologi, tetapi juga sanggup bekerja bersisian bersama klien di sisi hulu. Sehingga, digital agency dan klien wajib sama-sama lebih terbuka soal sistem kreatif mereka.

Digital agency jaman depan juga wajib punyai kekuatan di dalam user experience, customer experience, front end, dan customer journey. Brand bakal lebih membutuhkan customer dibandingkan customer membutuhkan brand. Buyer power bakal tetap meningkat bersamaan bersama berlanjutnya kompleksitas teknologi. Hal ini mengakibatkan digital agency wajib sanggup mengantarkan benefit yang nyata secarareal-time kepada konsumen.

Ada pula yang memprediksi digital agency jaman depan lebih melakukan tindakan sebagai enabler, seperti Uber di dalam dunia transportasi. Platform distribusi yang jumlahnya makin lama menggila mengakibatkan isi pasar makin lama riuh dan kompleks, sekaligus perkembangan teknologinya makin lama variatif. Situasi ini bakal melahirkan keuntungan strategis bagi digital agency bersama cara selalu punyai pertalian segera bersama klien, mengandalkan strategi, pendekatan dan data, tetapi dieksekusi oleh pihak lain yakni platform distribusi.

Pada akhirnya, aku masih berpegang pada sebuah prinsip kewirausahaan di jaman ini yang tak jika wajib bagi digital agency atau digital marketing agency: kewajiban menciptakan dampak, selesaikan kasus penting, dan mengakibatkan orang lain hidup lebih baik.

Kita membangun perusahaan bukan untuk menghasilkan uang. Namun kita menghasilkan uang sehingga sanggup melayani lebih baik dan berikan dampak lebih besar lagi.