Pelaku teror di Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri), ZA (25), menaikkan daftar panjang perempuan di pusaran terorisme.
Perempuan berusia 25 tahun itu, sebagaimana keterangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, merupakan pelaku seorang diri (lonewolf) yang terpapar ideologi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Berita terbaru – Sebagai informasi, keterlibatan perempuan didalam tindak pidana terorisme di Indonesia bukan barang baru. Selain teror di Mabes Polri, terhitung teror bom di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret lalu, keterlibatan perempuan terhitung ada pada aksi-aksi di awalnya setidaknya lima tahun terakhir di Indonesia.
Sebelumnya, pada Desember 2016 silam, ada dua perempuan dianggap kuat terlibat didalam rencana aksi teror yaitu TS yang dianggap hendak laksanakan pengeboman di Bekasi dan Dian Yulia Novi (DYN) yang berhasil diamankan sebelum laksanakan aksinya meledakkan diri di dekat kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. Keduanya disebut berbaiat kepada ISIS.
Kemudian pada 2018, simpatisan ISIS lain di didalam negeri yaitu Puji Kuswati mempunyai anak perempuannya berusia sembilan dan dua belas tahun meledakkan bom bunuh diri didalam serangkaian serangan tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Tak berselang lama berasal dari momen itu, Tri Ernawati meledakkan diri di Polrestabes Surabaya.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, mengutarakan tak bisa dipungkiri sebenarnya telah terjadi pergeseran pola penyerangan yang melibatkan perempuan. Menurut dia, ada tiga tahapan seputar perempuan bersama dengan terorisme.
Pada awalnya, tutur dia, perempuan hanya berperan cuman pendukung rencana (supporting system). Lalu pada kurun sementara 1990-2000-an berkembang bersama dengan ada kajian mengenai peran perempuan yang lebih progresif, tapi pada realitanya tak dipraktikkan.
Sementara tahapan ketiga, pada kurang lebih 2015 khususnya di kalangan pendukung ISIS, ada konsensus yang membolehkan perempuan terlibat segera didalam rencana maupun eksekusi.
“Bukan hanya jadi support system, bukan hanya mempunyai group kajian akhwat/perempuan, tapi terhitung boleh maju ke depan didalam konteks boleh laksanakan rekrutmen, boleh aktif didalam fundraising [penggalangan dana], boleh aktif didalam propaganda baik sebagai produsen maupun distributor peran khas khilafah. Tapi terhitung boleh ikut di medan perang: memegang senjata.
Ia menuturkan didalam dokumen ‘Women of The Islamic State, a Manifesto on women by the Al-Khansaa Brigade’ disepakati bahwa melibatkan perempuan didalam peperangan diperbolehkan, tapi jika suasana darurat. Brigade Al-Khansaa diketahi sebagai polisi wanita atau unit penegakan agama berasal dari group ISIS.
Namun, sejalan sementara terjadi tepatnya pada 2017, group berikut berpendapat perempuan diperbolehkan ikut berperang. Hal itu perihal bersama dengan posisi ISIS di Mosul dan Raqqa–Irak dan Suriah–yang terhimpit oleh sekutu.
Alasan Peran Perempuan yang Kini Terlihat Progresif
Taufik menuturkan sejumlah latar belakang di balik perempuan kini mempunyai peran lebih progresif. Alasan pertama yang menurut dia terhitung aneh adalah tuntutan ekualitas atau persamaan status hak maupun kewajiban antara perempuan dan laki-laki.
“Ini agak aneh sebab kaitannya bersama dengan gerakan feminisme,” ujarnya.
“Kemudian muncul fatwa berikut yang diperbolehkan. Bisa disebut bahwa perempuan terhitung mempunyai kesempatan untuk mengalami radikalisasi yang sama yang katakanlah bersama dengan laki-laki. Jadi, ini bukan cuman gerakan maskulinitas gitu,” sambungnya.
Sementara alasan kedua dan ketiga perihal bersama dengan ketersediaan sumber daya dan balas dendam. Penangkapan ataupun pembunuhan pada pelaku terorisme khususnya suami berasal dari si perempuan tersebut– menurut Taufik, menyebabkan perempuan bisa dimanfaatkan.
“Kedua resources. Kalau di wilayah, Indonesia, banyak penangkapan, itu bisa mengundang katakanlah kekurangan sumber daya sehingga perempuan dilibatkan. Lebih spesifik barangkali ada konteks balas dendam umpama suaminya tertangkap atau terbuhun, kan, selanjutnya ada kecenderungan perempuan ikut balas dendam,” kata dia.
Sementara itu perihal para perempuan yang tergolong group milenial itu terlibat aksi teror, Taufik menduga itu terpengaruh pula tingkat adrenalin yang terpacu untuk membela agama.
“Saya kira lebih ke dorongan adrenalin rush yang kuat untuk membela agama, di mana system yang injustice menurut mereka mesti ‘dilawan bersama dengan konkret’. Anak muda terhitung kan less consideration ya. Kadang condong tidak kritis. Dalam konteks begitu enteng mencerna ajaran dan doktrin,” kata dia.
Pada kesempatan terpisah, Peneliti terorisme Universitas Indonesia, Heru Susetyo, mengutarakan aspek lain pelibatan perempuan didalam terorisme yang kini jadi pelaku lapangan sebab lebih efisien bersama dengan tidak enteng dicurigai oleh aparat keamanan. Hal itu menyebabkan target berasal dari serangan teror barangkali besar tercapai.
Di samping itu, lanjut dia, perempuan terhitung mempunyai persoalan perihal literasi atau tingkat ilmu atas informasi.
“Artinya jika orang telah mempunyai background keislaman dan ilmu yang baik enggak barangkali mempunyai asumsi layaknya itu. Karena dia kurang banyak bacaannya, kurang banyak silaturahmi dan begitu kuatnya pengaruh sang imam atau ustaz, dia literasi rendah, umumnya terprovokasi bersama dengan media online khususnya [aplikasi pengirim pesan] Telegram. Saya dulu riset, mereka condong percaya, enggak mempunyai pembanding,” terang Heru.
“Dan terhitung ada aspek luar yaitu ada orang-orang yang coba untuk membasuh otak atau mendistorsi informasi entah direct lewat kajian-kajian segera atau media sosial,” lanjutnya.
Pengamat terorisme dan mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, menyatakan paham takfiri atau paham yang mengafir-kafirkan jadi aspek pendorong pelibatan perempuan didalam pusaran terorisme.
Pun kembali pula, menurut Nasir, group teroris memegang teguh bahwa jihad sementara ini adalah fardhu ain dengan sebutan lain kewajiban yang mesti dilakukan.
“Kalau orang telah dianggap kafir, artinya halal darahnya halal hartanya diambil,” katanya.
“Laki-perempuan juga,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, mengakui pelibatan perempuan didalam terorisme dinilai jaringan teror berikut lebih efisien sebab condong lebih tidak dicurigai daripada pelaku teror laki-laki. Atas hal itu, ia mengimbuhkan sejumlah saran baik kepada pemerintah, aparat kepolisian maupun masyarakat manfaat menahan keberulangan momen penyerangan di Mabes Polri.
Ia meminta sehingga kegiatan pemantauan di media sosial diperkuat. Sebab, menurut dia, group teror ataupun pihak-pihak yang berpotensi terpapar condong aktif mencari informasi di media sosial. Satu di antaranya adalah Telegram.
“Kelompok-kelompok JAD, dan lain-lain itu kan eksis juga, tapi ini group tertutup yang mesti dilihat bersama dengan baik oleh katakanlah RT atau Kepala Desa atau bahkan Polsek, Koramil. Itu umumnya tumbuh terhitung di masjid/ pesantren spesifik kajian keperempuanan yang katakanlah keras yang masuk didalam jaringan,” ucapnya.
Selain itu, ia meminta aktivitas-aktivitas elemen masyarakat khususnya perempuan bisa menyebarkan kontranarasi atas narasi sesat yang berkembang di ranah maya.
“Di sisi lain bisa saja menggunakan gerakan wilayah atau gerakan Dharma Wanita atau apa yang justru menggunakan perempuan atau ibu-ibu yang masjid itu. Jadi, bagaimana perempuan laksanakan kontranarasi pada perempuan,” pungkasnya.
Senada, Heru. terhitung meminta pengecekan atau pengawasan pada lintas media digalakkan kembali.
“Tapi, terhitung jangan berlebihan. Jangan semua dikit-dikit dibilang radikal, dikit-dikit dibilang teroris,” sebutnya.
Kedua, saran Heru, diperlukan kolaborasi berjenjang perihal bersama dengan pemberian literasi menyoal isu agama.
“Bagaimana literasi, ini bukan hanya tugas negara, sekolah, tapi terhitung tokoh-tokoh agama-masyarakat menghadirkan narasi yang sehat, konstruktif, mendidik yang perihal bersama dengan agama,” pungkasnya.